...tak secantik Balqis, tak setulus Zulaikha, tak sekuat Siti Hajar dan tak semulia Siti Khadijah...

Bersama air mata pasti ada senyuman. Bersama kesedihan ada kegembiraan. Bersama cubaan ada anugerah. Bersama musibah ada anugerah. Semuanya telah merupakan ketentuan yang pasti dan prinsip hidup yang digariskan Allah s.w.t.

Indahnya! Ukhwah Tercipta kerana Allah s.w.t, Jazakumullah Khairan Kathira

Rabu, 1 Jun 2011

Subuh Yang Indah Bersamamu, Ya Rasulullah

Dinihari di Madinah Al-Munawwarah. Aku saksikan sahabat-sahabat berkumpul di masjidmu. Angin sahara membekukan kulitku. Gigiku gemeretak, kakiku bergoncang.
Tiba-tiba pintu hujrahmu terbuka. Dan kau datang, ya Rasulullah. Kami pandang dikau. “Assalamu'alaika ayyuhan nabi warahmatullahi wabarakatuh,” kudengar salam disampaikan bersahut-sahutan. Kau tersenyum, ya Rasulullah. Wajahmu bersinar. Angin sahara berubah hangat. Cahayamu memasuki seluruh daging dan jiwaku. Dinihari Madinah berubah menjadi pagi yang indah.
Kudengar kau bersabda, “Adakah air pada kalian?”
Cepat-cepat kutengok gharibah-ku. Kulihat para sahabat yang lain sibuk memeriksa kantung mereka, “Tak ada setitik air pun, ya Rasulullah.” Kusesali diriku, mengapa tidak kucari air yang cukup sebelum tiba di masjidmu. Beruntung benar sekiranya kubasahi wajah dan tanganmu dengan percikan air dari kantung airku.
Kudengar suaramu yang indah, “Bawakan padaku wadah yang masih basah.” Aku ingin loncat mempersembahkan gharibah airku tapi ratusan sahabatmu berdesakan mendekatimu. Kau ambil satu gharibah air yang kosong. Kau celupkan jari jemarimu yang mulia. Subhanallah, kulihat air mengalir dari celah-celah jemarimu. Kami berdesakan, berebutan berwuduk dari pancuran sucimu. Betapa sejuk air itu ya Rasulullah. Betapa harum air itu ya Nabiyallah. Betapa lazat air itu, ya Habiballah. Kulihat Abdullah bin Mas’ud pun mereguk sepuas-puasnya.
Qad qamatish shalah, qad qamatish shalah….
Alangkah bahagianya aku bisa shalat di belakangmu, ya Sayyidal Anam. Ayat-ayat suci mengalir dari suaramu. Melimpah, memenuhi jantung dan seluruh pembuluh darahku.
Usai shalat subuh, kau pandangi kami, masih dengan senyum yang indah itu. Cahaya wajahmu, ya Rasulullah, tak mungkin aku lupakan. Ingin kubenamkan setitis diriku dalam samudera dirimu. Ingin kujatuhkan sebutir peribadiku pada sahara tak terhingga peribadimu.
Kudengar kau berkata, “Menurut kalian, siapakah makhluk yang paling menakjubkan imannya?”
Kami jawab serentak, “Malaikat, ya Rasulullah.”
“Bagaimana mereka tak beriman, padahal mereka berada di samping Tuhan mereka?” jawabmu.
“Kalau begitu para nabi, ya Rasulullah.”
“Bagaimana mereka tak beriman, bukankah wahyu turun kepada mereka?”
“Kalau begitu kami, sahabat-sahabatmu, ya Rasulullah.”
“Bagaimana kalian tak beriman padaku padahal aku berada di tengah-tengah kalian? Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman? Mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan.” Aku tahu, ya Rasulullah, kami telah saksikan mukjizatmu. Kulihat wajahmu yang bersinar, kulihat air telah mengalir dari celah jemarimu, bagaimana mungkin kami tak beriman kepadamu. Kalau begitu siapa ya Rasulullah, orang yang kau sebut paling menakjubkan imannya?
Langit Madinah bening, bumi Madinah hening. Kami termanggu. Ah, gerangan siapakah mereka itu? Siapa yang kau puji itu, ya Rasulullah? Kutahan nafasku, kucurahkan perhatianku. Dan bibirmu yang mulia mulai bergerak, “Orang yang paling menakjubkan imannya adalah kaum yang datang sesudahku. Yang beriman kepadaku, padahal mereka tak pernah melihat dan berjumpa denganku. Yang paling menakjubkan imannya adalah orang yang datang setelah aku tiada. Yang membenarkan aku padahal mereka tak pernah melihatku. Mereka adalah saudara-saudaraku.”
Kami terkejut. “Ya Rasulullah, bukankah kami saudaramu juga?”
Kau menjawab, “Benar, kalian adalah para sahabatku. Adapun saudaraku adalah mereka yang hidup setelah aku. Yang beriman kepadaku padahal mereka tak pernah melihatku. Merekalah yang beriman kepada yang ghaib, yang menunaikan shalat, yang menginfakkan sebahagian rezeki yang diberikan kepada mereka…(QS. Al-Baqarah; 3)”
Kau diam sejenak ya Rasulullah. Langit Madinah bening, bumi Madinah hening. Kudengar kau berkata, “Alangkah rindunya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku. Alangkah beruntungnya bila aku dapat bertemu dengan saudara-saudaraku.”
Suaramu parau dan butiran air mata tergenang di sudut matamu. Kau ingin berjumpa dengan mereka, ya Rasulullah. Kau rindukan mereka, ya Nabiyallah. Kau dambakan mereka, ya Habiballah….
Wahai Rasulullah, kau ingin bertemu dengan mereka yang tak pernah dijumpaimu, mereka yang bibirnya selalu bergetar menggumamkan selawat untukmu. Kau ingin datang memeluk mereka, memuaskan kerinduanmu. Kau akan datang kepada mereka yang mengunjungimu dengan selawat. Masih kuingat sabdamu, “Barangsiapa yang datang kepadaku, aku akan memberinya syafaat di hari kiamat.”
Ya wajihan ‘indallah, isyfa’lana ‘indallah. Wahai yang mulia di sisi Allah, berikanlah syafaat kepada kami di sisi Allah…

Tiada ulasan:

Catat Ulasan